Disclaimer: Albeit I'm a social researcher, and I've only been publishing since 2016/2017 [conference proceedings and journals], so take my advice/experience with a grain of salt. For context, summary of my international publication numbers are:
- Proceeding Papers: 5 published, 0 in-press, 0 in-review.
- Journal Articles: 4 published [Scopus Q1=1, Q2 = 2, Q3 = 0], 3 in-press [Scopus Q1 = 1, Q2 = 2], 3 in-review [Scopus Q1 = 1, Q2 = 1].
- I have had 0-paper completely rejected [as in gak bisa publish dimana-mana].
Currently, I am an
assistant editor for 2-journals [1 national, 1 international] and previously a journal manager for 1 national journal.
NOTE: indexing itu gak cuman scopus doang, tapi di Indonesia bekennya scopus, jadi banyak dari contoh dan standard yang gue pake dibawah ini adalah scopus.
INI BERDASARKAN KASUS/SITUASI/KONDISI DI INDONESIA, JANGAN DISAMAKAN DENGAN DI EU/US/etc. Please gak perlu nulis di komen, "gue di EU/US/JP gak gini kok..." ya iyalah beda.
Dibayar gak sih untuk menerbitkan jurnal di Indonesia? Jawaban sederhananya, enggak.
TAPI, setau saya, banyak universitas/lembaga penelitian yang biasanya memberikan insentif untuk peneliti yang berhasil menerbitkan artikelnya di jurnal SCOPUS Q3-Q1. Contohnya, sampai 2019 lalu, dosen ITB dibayar sampai 20jt per paper kalau bisa papernya diterima jurnal Scopus Q1. Untuk universitas/prodi yang belum ada kejelasan tentang insentif untuk peneliti, bukan berarti instansi gak bersedia mereward usaha kalian kok. Triknya disini, begitu kamu dapat hasl review awal [contohnya, kamu dapat email
Accepted with Revision dari jurnal], sembari kamu revisi dan sebelum kirim ulang ke jurnalnya, kamu bisa tanya ke institusi tentang apa yang bisa kamu dapatkan dari penerbitan paper ini. Kecuali kalau kamu mahasiswa S3, biasanya gak ada kewajiban kamu harus menerbitkan paper di jurnal-jurnal besar; walaupun banyak sekarang mahasiswa S2 udah diminta untuk publish, tapi kalau dipikir2 lagi, itu juga bukan kewajiban mereka tapi lebih ke institusi dikejer punya banyak publikasi. Jadi, jangan ragu untuk bertanya, kalau kamu menerbitkan paper ini dengan afiliasi institusi kamu akan dapat apa, jangan ragu untuk bernegosiasi juga dengan pihak institusi. Inget, mereka lebih perlu paper lu dari pada lu perlu mereka untuk afiliasi di paper lu, apalagi kalau publikasi ini ada di jurnal-jurnal ternama. Gak jarang kok kalau kamu nanya, seenggaknya kamu bisa negosiasi dengan fakultas untuk dapat pendanaan untuk penelitian selanjutnya. INGET, dalam banyak hal, if you never asked, you'll never get it.
Biaya penerbitan jurnal? Bianya penerbitan jurnal [kecuali jurnal abal-abal] pada dasarnya 0 untuk penulis, atau kalaupun ada APC [article processing charge/fee] biasanya untuk jurnal-jurnal yang bener itu gak mahal walaupun udah SCOPUS Q1 or Q2. Biasanya yang punya APC itu kalau jurnalnya dikelola oleh Univ/Fak dan mereka kehilangan dana [atau jumlah artikel yang diterimanya terlalu besar jadi biaya maintain jurnalnya lebih besar]. Misalnya, beberapa jurnal UGM (gak scopus) itu APCnya sekitar 750rb. Jurnal IJAL UPI [Q2] APCnya mulai tahun ini $350. Beberapa jurnal lain yang gue tau juga APCnya sekitar USD50-250. DAN semuanya hanya dibayarkan kalau sudah diterima, kalau misalnya peneliti gak sanggup, bisa hubungi editor dan bilang bahwa penelitian ini gak ada anggarannya dll jadi apakah ada kemungkinan waived APC [most of the time, IF it's a good article, they will waive it].
Kadang kali ada beberapa jurnal yang tetap mau menerima dan publish KALAU kamu bayar APC besar-besaran [biasanya ini disebut Hybrid Open Access]. Jadi manuskrip kamu akan dihitung sebagai artikel open access, tp kamu yang membiayai proses publikasinya. Misalnya untuk Wiley, costnya sekitar 2,850-3,500 USD or Euro [gak inget pastinya Euro or USD].
Buat kamu-kamu yang idealis dan percaya bahwa pengetahuan itu harusnya free aka gratis segratis-gratisnya, kamu juga punya opsi untuk ngirim naskah kamu ke open access journals. Most of these journals are free for both authors and readers.
I don't have funding, how do I do research? This is significantlly different accross discipline, but in many discipline, I think the principle is inherently the same. Prinsipnya, dalam penelitian itu yang paling penting adalah data. Jadi, selama kamu punya akses data, ya sebenarnya kamu bisa aja melakukan penelitian. Misalnya, saat gue baru mulai penelitian pribadi, gue juga gak punya disposable income untuk amdat [please, print kuesioner, persiapan ekperiment, ngasih gimmick, dll itu gak murah]. TAPI, gue tau bahwa gue bisa dapat data dari skripsi-skripsi mahasiswa yang berjibun. So, gue putuskan untuk ngelakuin meta-analisis dari satu variabel yang umum dipilih mahasiswa. Gue ngumpulin sekitar 130-skrispi, gue analisis kontennya [gue dapat sekitar 60an quant-study yang seluruh asumsi penelitiannya akurat, alias gak salah konsep dan pengukuran], lalu gue kumpulin datanya [sekitar 40 yang melampirkan data penelitiannya]. Dari sini gue dapat sekitar 1,700 data untuk gue analisis dengan sedalam-dalamnya. Selain ini, gue juga pernah kok ngelakuin analisis twitter. Gue tangkringin satu hashtag sampai beberapa hari dan gue [manually, i didn't know how to do data scrapping back then] copas masing-masing tweetnya, gue koding, dan gue analisis hasilnya. Other way, titip kuesioner ke dosen, ajak beliau penelitian bareng dan share the whole data, lu tinggal ngomong lu pake variable apa aja untuk penelitian dia dan dia bisa pake variable lainnya. Masih other way, bikin kuesioner online, datengin tempat orang-orang ngumpul, minta mereka ngisi kuesioner kamu, gue berhasil dapat sekitar 400-data tentang parasangka etnis lewat cara ini, ngumpulin datanya hampir 2minggu, response rate gue sekitar 30% (cuman 3 dari 10 orang yang bener-bener ngisi kuesioner gue).
So, yeah, kalau gak punya uang, ya gapapa, you can compensate money with time and energy. Apakah cape? Ya iyalah pasti. BUT, seenggaknya lu bisa belajar juga bahwa bener kok, gak punya uang bukan berarti gak bisa ngelakuin riset. Kalau memang minatnya kesana, ya pasti bisa.
Apa bedanya artikel prosiding dan jurnal? Dari segi kualitas, prosiding biasanya gak seketat jurnal, walaupun gak berarti bahwa prosiding itu gak berkualitas. Biasanya, prosiding itu adalah bentuk artikel dari presentasi yang kamu lakukan dalam konferensi-konferensi. Dalam banyak kasus, sering kali orang publish ke prosiding kalau belum PD untuk publish ke jurnal. TAPI, kembali lagi, semua tergantung sama konferensinya. Banyak kok konferensi yang prosidingnya berkualitas walaupun tidak sampai terindex scopus.
Authorship. IDEALNYA, penulis pertama adalah orang yang paling berkontribusi dalam BOTH penelitian dan penulisan naskah. Sering kali, emang yang paling berkontribusi dalam proses penelitian itu bukan orang yang paling berkontribusi dalam penulisan naskah, nah disinilah urutan penulisan harus dibahas [kalau perlu, both as first author juga bisa kok]. Sering juga, sebagai peneliti utama, kamu merasa bahwa dosbim berkontribusi banget dalam penelitian kamu walaupun beliau gak ikutan menulis maupun membantu dalam proses penelitian. Dalam kasus ini, kalau kamu gak ada masalah dengan menambahkan dosbim sebagai peneliti kedua dst, ya silahkan, yang jelas, diusahakan untuk jangan masukin nama orang yang gak berkontribusi dalam paper kamu.
ALSO, perlu pertimbangan budaya juga dalam hal authorship. Walaupun biasanya siapa aja authornya dan bagaimana urutannya itu berdasarkan pada kontribusi masing-masing author, kadang prakteknya ya gak seperti itu. Misalnya, di US/CA, dosbim yang gak membantu menulis ya gak perlu ditulis namanya [walaupun beliau mereview paper lu sebelum lu submit ke jurnal]. Sementara di EU, biasanya dosbim jadi honorary authorship [as last author] makanya di EU, last author itu lebih prestigious dari pada second to second-to-last kadang-kadang. Di Indonesia, biasanya tergantung dari lulusan mana dosbimnya, biasanya kalau dosbimnya lulusan EU, mereka ngotot harus dimasukin namanya sebagai penulis padahal ngebimbing juga gak selalu signifikan.
[Note: Gue personally, waktu gue di Indo, selalu ngomong dari awal bahwa ini papernya udah jadi, kalau temen/dosen mau nambahin secara signifikan (inc. oldat tambahan), gue gak masalah untuk masukin nama dia, kalau sekedar baca ngasih opini doang ya acknowledgement. Dalam kasus gue juga, selain skripsi, gue gak pernah minta bimbingan sih, kadang kalau kita lagi ngumpul-ngumpul ya bahas penelitian masing-masing dan ngasih ide satu sama lain, tapi gak pernah jatuhnya bimbingan juga, jadi secara personal, gue gak pernah merasa bahwa gue wajib masukin nama mereka sebagai pembimbing.]
Masalah dalam authorship yang sering kali gue liat adalah 'pembelian authorship'. Misalnya, paper gue cukup bagus, jadi ada dosen dari instansi mana minta namanya dimasukin ke paper gue dan dia akan bayar biaya APC kalau diminta dan mengganti biaya penelitian gue [dan jangan kaget kalau diminta jadi penulis pertama juga]. FEEL free untuk menolak hal-hal seperti ini kalau kamu keberatan, unless kalau kamu rela-rela aja tulisanmu dibayar orang (yeah, ghost authorship is very... very... verrrrry common in Indonesia, mulai dari skripsi, tesis, disertasi, dan jurnal pun banyak). Ingat, pada dasarnya, authorship itu sebuah hak dan kewajiban, as an author, you are responsible for every little thing you write in your paper.
Proses publikasi jurnal dan lamanya. Lamanya proses publikasi jurnal itu pada umumnya tergantung dari jurnalnya itu sendiri, gak jarang kok kalau kamu akan nunggu 3-9 bulan untuk dapat kabar dari reviewer doang dan nunggu sekitar 2-6 bulan lagi sampai paper kamu publish setelah kamu revisi. Dari pengalaman gue publish paper, paling cepet gue dapat kabar itu sekitar 2-bulan, lalu mereka kasih gue waktu 2-minggu untuk edit berdasarkan hasil review, dan kurang dari satu bulan kemudian paper gue udah publish. Paling lama, paper gue direview sampai 10-bulan [gue nanya apakah udah review atau belum setelah bulan ke-3, tapi kebetulan reviewernya aja yang lagi sibuk jadi emang agak lama], saat ini, papernya lagi in-press dan udah 1-bulan sejak gue revisi.
Pada umumnya setelah kamu submit manuskrip ke jurnal, biasanya kamu dapat email bahwa kamu udah submit dan akan dikabarin kalau ada berita tentang manuskrip kamu. Kadang kala, dalam waktu beberapa hari [sampai 2-minggu], kamu bisa dapat kabar dari pihak editor [managing editor, assistant editor, journal manager etc] untuk perbaiki format submisi kamu. Biasanya ini kejadian kalau jenis citationnya salah sih, misalnya diminta Chicago tapi kamu pakainya APA. Selain itu, sering juga dalam rentang beberapa hari ini kamu dapat letter of rejection, biasanya ini karena level of plagiarismnya cukup tinggi waktu mereka masukin ke software [sejenis: Turnitin]. Selain itu, ini biasanya terjadi kalau bahasa penulisan dalam manuskrip kamu kurang memadai, misalnya, dari abstrak aja udah keliatan bahwa grammarnya kacau, jadi biasanya dikirim balik naskahnya untuk diperbaiki dan resubmit [or direject langsung]. Biasanya, kalau setelah satu bulan gak ada kabar sama sekali, it's saved to assume bahwa paper kamu udah diforward ke [content] editor.
Setelah lulus seleksi awal dan manuskrip dikirim ke tim editor, manuskrip akan dibaca oleh salah satu editor [or maybe more, sometime] untuk dilihat apakah paper ini layak publish di jurnal ini atau enggak. Berdasarkan pengalaman gue, editor-editor ini beneran bacain manuskrip yang diterima lho, satu-satu. Gue juga [sebagai asisten editor] baca semua manuskrip yang dikasih ke gue. Setelah kami baca, kami akan ambil keputusan apakah paper ini layak untuk jurnal ini atau enggak. Kalau layak, kami akan carikan reviewer untuk paper tersebut [per topik beda reviewernya], kalau sudah nemu ahli yang mau mereview, kami kirimkan manuskrip ke reviewer tersebut.
Dr reviewer nanti dibaca, review dan bikin detail recommendation ttg apakah paper ini pantas publish atau enggak dr sudut pandang ilmu yg spesifik. Bedanya review tahap ini dan tahap sebelumnya adalah pada keabsahan konten, apakah teori/konsepnya akurat, apakah metodologinya adekuat, apakah diskusinya dapat dipertanggungjawabkan dari segi data atau enggak. Setelahnya, manuskrip akan dikirim ke editor lagi dengan rekomendasi sebagai berikut: publish as is, publish with minor revision, publish with major revision, or reject.
Editor kemudian buat keputusan berdasarkan kedua (or more) review, misal kalau salah satu reject salah satu publish with minor revision, ya mungkin editor akan cari 3rd reviewer... or he/she decides on her own. Anyway, abis ini dia akan kirim keputusan akhir ke author dan author yg wajib revisi lagi sebelum dikirim balik ke editor.
Setelah manuskrip direvisi, editor akan membandingkan apakah manuskrip ini emang direvisi sesuai review atau enggak, dan segala tetek-bengek lainnya. Kalau semuanya udah oke, editor akan kirim surat lagi ke author yang biasanya berisi: pemberitahuan acceptance/rejection [kalau diterima, dikasih tau juga untuk edisi kapan], lisensi, copywrite transfer agreement, dst.
Pada umumnya, proses ini semua dilakukan secara double-blind, biasanya kalaupun ada yang tau ini paper siapa dll. itu cuman managing editor [petugas yang nerima manuskrip awal banget]. By 'pada umumnya' I meant di Indonesia, US, dan beberapa jurnal EU yang gue tau ya. Emang kadang [so far baru liat di Indonesia sih] ada jurnal yang editor dan reviewernya itu-itu aja, jadi kadang dosen-dosen yang secara personal kenal mereka suka minta request biar papernya cepet direview dll dan ya akibatnya mereka tau ini paper siapa dll. Tapi ya kembali lagi, cuman karena orang lain bisa gak jujur, bukan berarti semua orang itu gak jujur. So far, gue belom pernah kok ngerequest seperti ini dan paper-paper gue keterima-keterima aja tuh. Gue pernah diminta untuk cepetan review paper seorang dosen di Indo, ya emang kalau memungkinkan akan gue proses artikel dia lebih cepat, tapi ya tetap bukan gue juga yang review karena gak afdol kalau gue review paper seseorang yang gue kenal.
Siapa yang bisa publish ke jurnal? Pada umumnya, siapapun bisa publish ke jurnal. Selama manuskrip lu lulus quality check, gak akan dipermasalahkan siapa yang menulis dll. Bahkan, udah lumayan banyak kok anak SMA [non Indonesia sih] yang mulai publish albeit not the best journals.
Apakah benar kalau kita masukin nama-nama besar [dosen ternama dll], paper kita akan lebih gampang publish? Yes and No. Ini tergantung jurnalnya dan tergantung integritas editor, kadang ada juga editor yang bias, so ofc this happens. Tapi kembali lagi, kalau paper kamu kualitasnya benar-benar bagus, ada atau gak ada nama-nama beken gak akan ngepek kok.
How hard is it to publish? How to start? Again, it depends. Berdasarkan pengalaman gue di Indonesia, yang bikin susah publikasi adalah karena kita kurang baca. Karena kita kurang baca, kita gak bisa menulis dengan efektif. Karena gak bisa menulis dengan efektif, argumen yang kita sampaikan juga jadi gak memadai. Disini, memadai artinya sesuai konteks/teori/data. Sering kali, dalam artikel-artikel yang biasanya gue tolak, itu karena mereka gak punya argumen baru [cuman ngulangin apa kata jurnal lain tapi gak diperdalam sama sekali] atau malah terlalu 'ngarang' [bikin asumsi yang terlalu jauh berdasarkan data/teori yang terbatas].
As how to start, dari pengalaman gue, ada beberapa cara lu bisa mulai research to publish. Kalau kamu mahasiswa [atau masih punya akses ke univ/dosen], cara paling gampang adalah samperin dosen dan minta untuk jadi asisten penelitian beliau. Biasanya, kalau baru mulai [atau dosennya lagi gak punya dana penelitian dari mana-mana] kamu gak akan dibayar sih, tapi kalau udah ada budget, bisa juga kamu minta dibayar, cuman ya itu, jangan harap akan besar bayarannya. Gue pernah kok ikutan penelitian dosen, sekitar 6-bulan gitu sampai beres manuksrip kami, gue cuman dibayar 500rb dan itu pun cuman karena tiba-tiba beliau dapat funding untuk ngeganti cost penelitian [beliau terbuka banget kok soal fundingnya, kami cuman dapat 3jt dari fakultas dan kami prioritaskan bayar asisten mahasiswa dulu]. Setelah kamu lebih nyaman tentang tetek-bengek penelitian, mulailah kamu berproyek sendiri. Kalau masih kurang nyaman dengan ini, coba kamu berproyek sendiri dan minta dosen/temen untuk jadi partner proyek kamu. Disini, mulailah dengan penelitian kecil-kecilan, bahkan kalau perlu kamu mulailah dengan belajar menuis literature review [trust me, this is a much needed skills]. Coba kirim manuskrip kamu ke jurnal-jurnal lokal dulu kalau kamu gak pede dengan hasil tulisan kamu [apalagi kalau kamu gak pede sama kemampuan bahasa Inggris kamu], kalau udah lebih pede, baru kirim ke jurnal yang lebih pretigious.